Irony

Label: , , , , , ,

0


BLUE IS BETTER ONE
by: Number02


(irony)




Di sudut ruangan itu, Sekar tak bisa menahan tangisnya. Maksud hati ingin menghilangkan karma, tetapi malah tambah membuat sakit perasaan orang lain. Dimas yang dulunya dia mulai untuk sayangi perlahan menghilang. Dimas ternyata bukan seperti pria lain. Dia menemukan kenyataan lain yang lebih pahit dari apa pun.

“Dim, kamu merasa ga sih hubungan kita udah makin deket?”

“Iya Kar, aku juga ngerasa gitu. Kita makin jadi teman yang baik”

“Iya teman hehe, tapi aku ngerasa kamu memberi kamu lebih dari itu”

“Oh iya, kita emang sering berduaan kan. Iya aku tau kok”

“Iya Dim, aku rasa kita cocok loh”

“Hmm,sebentar cocok? Maksud kamu pacaran Kar?”- menyerutkan dahinya dan memperjelas situasi dengan matanya yang kemudia terlihat serius.

“Iya, kamu sudah ngasih semuanya ke aku Dimas. Aku sayang kamu”

“Tunggu, aku ga bisa Kar. Maaf” – memegang tangan Sekar dengan erat.

“Kenapa? Kamu juga sayang aku kan. Dengan semua perlakuan kamu itu”

“Aku gay Kar, aku ga bisa sama kamu. Kita dekat karena aku anggap kamu itu adik aku”

Gay?!?!? How so?! Dimas!! Kamu ga bercanda kan?”

“Engga, ini foto pacarku.” – menunjukan foto lelaki dompetnya.

“Kamu jangan bilang ke anak kampus yah Kar, please. Aku kira kita sebatas teman biasa”

“Iya tapi... arghhhhh kenapa kamu ga bilang Dimas. Reno kasihan!!” – mata Sekar seraya tak bisa menahan

air matanya. Saat itu juga dia berlari dan berlari meninggalkan Dimas dengan penuh kehampaan di tempat itu. Sekar memikirkan semua itu, dia merasa bersalah.


***


“Nduuk, kamu itu kenapa to? Dari kemarin ga mau maem. Ayo maem dulu, engko badanmu sakit ga bisa kuliah piye?” – elusan tulus sang ibu pada pundak Sekar

“Ndak apa-apa bu, aku lagi banyak pikiran aja. Masih kenyang kok bu”

“Ehhh tapi kamu itu harus maem, ayo maem!!”

“Biasa tuh bu, lagi galau jadi gitu deh anak gadis ibu hahaha” – saut kakaknya Sekar dari arah luar pintu kamar.

“Opo seeh mas Ram!! Sok tau aja!!”

“Rama! Adikmu ini lagi sedih kok masih aja yaa..”

“Bercanda to bu, yowess ga lagi-lagi” – pergi kearah kamarnya.

“Ayo Kar kamu maem dulu, sedikit juga ndak apa-apa”

“Iya bu...”

Tiap suap yang diambil oleh Sekar seakan tak berarti baginya. Kini yang di pikirannya adalah bagaimana dia bertemu Reno dan meminta maaf sebesar-besarnya kepadanya. Dia pun juga sakit hati karena Reno mengucapkan bahwa ketulusan hatinya tak sehalus tata krama keluarganya. Itu yang membuat Sekar menjadi seperti ini.

Sekar berpikir kenapa dia harus seperti ini? Bukankah waktu itu Dimas sudah menunjukan banyak sekali sinyal-sinyal yang mengindikasikan adanya keseriusan dalam berhubungan. Dia terlalu dalam berfantasi dengan Dimas, padahal di sisi lain Reno juga memberikan perhatian yang kurang lebih sama kepada Sekar waktu itu. Tetapi dalam benak Sekar, Dimas adalah tipe yang sangat cocok untuknya. Walaupun Reno juga memiliki karakteristik yang di sukai Sekar juga. Sekar dan Reno sudah pacaran sebelumnya, tapi niatan Sekar hanyalah untuk membuktikan mantra anti karma tersebut, tidak lebih. Ciuman yang mendarat di bibir manis Sekar waktu itu hanyalah sebuah improvisasi dalam pengorbanannya untuk membuktikan mantra anti karma ini. Semuanya di lakukan hanya untuk pembuktian bukan untuk cinta. Tetapi Reno juga sudah terlanjur menaruh perasaanya di dalam hati Sekar. Namun, takdir berkata lain.

“Nduk, kenapa to kamu? Sudah 2 hari loh kamu diam seperti ini, ayo cerita ke Bapak” – suara berat itu mempertanyakan kondisi anaknya dengan halus.

“Ndak apa-apa kok pak, Sekar Cuma kecapean kuliah aja jadi begini. Mungkin Sekar harus lebih banyak istirahat pak” – balas anaknya dengan senyum sebisanya.

“Yakin ndak apa-apa, kamu juga pucet gini gitu loh. Sudah maem kamu?”

“Sudah pak, tapi sedikit. Sekar ga begitu laper”

***

Paras cantik itu berjalan dengan cepat dan serius, kaki jenjangnya seakan melangkah dengan lebar di lorong rumah sakit itu. Derap langkahnya membuat suara yang menggema di sekitar lorong rumah sakit itu. Sapa dan senyumnya mengiringi langkahnya ketika bertemu dengan staf, suster atau dokter yang lain. Mahasiswi ini sedang melaksanakan prakteknya. Papan berjalan yang dia bawa seakan penuh dengan kertas dan catatan-catatan lainnya. Tangan kirinya mendekap papan berjalan itu serta tangan kananya menggenggam pulpen sambil sesekali mengeluarkan suara “cetak, cetek, cetak” karena ujung pulpennya selalu ditekan-tekan dengan irama seadanya. Kacamata mungil itu makin memperindah wajah panjangnya. Sinar cerah selalu tertampang di wajah mahasiswi kedokteran ini. Alisnya yang tidak terlalu tebal menambah kesan anggun pada wajah gadis ini. Rambutnya dikuncir dengan rapi, karena dia sedang praktek saat itu. Langkahnya terhenti seketika ada segerombol orang yang ingin masuk ke dalam ruangan rumah sakit itu.

“Maaf permisi mba” – sapa suster itu kepada gadis ini.

“Oh iya silahkan, ada pasien baru sus?”

“Iya, sepertinya terkena tipus. Mari mba saya duluan”

“Iya silahkan” – kembali berjalan melanjutkan perjalanannya.

Jas putih yang ia kenakan seakan berkibar dengan lembut. Auranya sangat menunjukan kesiapannya kali ini.

Di ujung jalan dia bertemu dengan teman satu kuliahnya, dan satu jurusan pula. Nampaknya dia sudah siap untuk menjemput gadis ini untuk pulang. Dengan kunci mobil yang di pegangnya sedari tadi.

“Ya ampun Lif, sejak kapan kamu di sini?” – tanya gadis ini terkejut.

“Baru kok Sa, jadi ga terlalu lama banget. Ya 5 menitan lah. Udah kelar observasinya?”

“Udah ini laporannya udah aku bawa” – sambil menunjukan papan berjalannya.

“Oh gitu, ga ada acara kan? Pulang yuk”

“Yaudah, aku ambil tas aku dulu di ruang dokter ya. Tunggu sebentar”

“Iya, aku tunggu di depan apotek Sa”

Gadis itu Salsa, mantan pacar Reno yang sekarang menjadi mahasiswi kedokteran. Dia tampak senang menuju ke ruang dokter itu. Senyum girangnya seraya membuat penasaran suster-suster yang ada di ruangan itu

“Ciyee mba di jemput pacar ya?” – goda salah satu suster.

“Hmm mungkin calon sus haha, aku pulang ya” – dengan tawanya pelan langsung keluar menuju ke tempat Alif berada.

Alif dengan Salsa sudah sangat dekat. Hubungan mereka berawal hanya karena mereka saling kenal di kampus. Karena mereka dekat dan akrab, maka banyak orang mengira mereka sudah pacaran. Salsa akan selalu tersipu malu jika teman-temannya mengejek Salsa pacaran dengan Alif. Hubungan mereka belum sampai situ. Alif pun juga mahasiswa kedokteran di tempat Salsa kuliah. Mereka sering bertemu dan pulang bareng. Tak heran mereka sudah sangat di kenal di kampus.

“Lif, mau langsung ke kosanku?” – tanya Salsa pelan.

“Terserah kamu sih Sa, aku belum makan tapi. Makan dulu gmn?”

“Oh sama sih, yaudah makan dulu aja”

Di tempat makan itu banyak sekali orang memesan makanan dengan beragam menunya. Tempat ini berkesan mewah, tidak begitu pantas untuk mahasiswa dengan uang pas-pasan masuk ke restoran ini. AC yang dingin seraya menyambut kulit mulus Salsa ketika masuk ke ruangan itu. Semua orang yang datang kesini hampir semuanya orang mampu dan you know lah dompet mereka seperti apa.

Sesaat Salsa teringat Reno, mantannya itu selalu menyebut restoran seperti ini dengan sebutan restoran “you know lah” yang maksudnya kita tau harganya berapa mahalnya hanya dari tampak luarnya, lalu untuk pedagang kelas kaki lima yang sering sekali Salsa dengan Reno sambangi di beri sebutan restoran “you know me” ini karena harga di tempat itu sangat mengerti kantong-kantong untuk pelajar dan mahasiswa sederhana seperti Reno.

Salsa tiba-tiba tersenyum geli sendiri mengingat mantannya itu ketika memberi nama dan sebutan pada restoran-restoran.

“Kamu kenapa Sa, senyam-senyum seneng ya jalan sama aku?”

“Haha engga apa-apa kok, teringat hal lucu aja haha” – senyumnya berubah menjadi tawa pelan yang sangat manis untuk di dengar.

“Lif, aku ga biasa makan di tempat begini. Pindah aja yuk”

“Udah ga apa-apa, aku traktir kamu deh. Gimana?”

“Hmm yaudah deh”

Mereka kemudian memesan dan santap siang di restoran yang boleh di bilang mewah itu. Alif mencoba untuk menghibur Salsa dengan leluconnya, gurauannya seraya memecah keheningan kala itu. Salsa menyambut lelucon Alif bukan karena lucu, karena ia segan kepada Alif. Tawanya hanyalah sarat kehangatan saja dalam bercengkrama, tidak lebih. Setelah itu pun mereka pulang dan melanjutkan perjalanannya ke

kosan Salsa. Sepanjang perjalanan mereka masih tetap mencoba untuk bercanda dan berbicara sekenanya. Tawa dan suara itu menggema dan menghilang di telan ramainya suasana kota waktu itu.

***

Pria itu dengan cepat melangkah keluar dari tempat itu, langkahnya sangat menggebu dan tampak tidak memperhatikan jalan di sekitarnya. Nafasnya terasa terengah-engah saat itu. Raut wajahnya nampak makin serius dengan apa yang ada di pikirannya. Badannya yang cukup tinggi membuat langkahnya seakan melayang saking cepatnya dia berjalan. Tanpa memperhatikan kemana dia melangkah tanpa di sadari ada mobil yang mengarah ke pria ini.

“Awas mas, jangan nyebrang dulu!” – teriak bapak pemilik warung di sekitar jalan itu.

Brakk!! Seakan terhenti oleh waktu. Semuanya menjadi hening sesaat. Orang-orang di sekitar situ seakan penuh mengerumuni kejadian itu. Pemilik mobil itu pun keluar dan hampir di keroyok massa saat itu. Namun bapak-bapak pemilik warung tadi mencoba melerai dan menenangkan warga. Pria yang menyebrang tadi terlentang di panasnya aspal jalan itu. Penumpang dari mobil itu pun keluar dan mencoba melihat apa yang di tabrak oleh temannya. Seraya terkejut, penumpang itu pun langsug jongkok dan mengangkat pelan kepala pria itu dan..

“Yaampun Reno...!!!” – mata penumpang itu pun mengeluarkan air mata yang langsung turun dengan deras bagaikan air terjun victoria.

Bersambung...


0 Response to "Irony"

Posting Komentar