Sad

Label: , , , , ,

0


Sad
by: Number12 
find me on wattpad: Evotion



ALINE

Aku berjalan di tepian pantai, berharap semilir angin yang berhembus akan menghapuskan kesedihanku. Matahari mulai terbenam, keramaian mulai memudar bersama jingga di langit. Namun aku masih disini, masih berharap rasa sakit ini terbawa ombak di lautan.

***


"Baby..." panggilku ke arah seorang pria tinggi berambut hitam kecoklatan. Dia berbalik dan tersenyum ke arahku. Masih berdiri di balkon mengenakan kemeja putih dan celana jeans birunya. Matanya yang senada dengan warna rambutnya terpapar sinar matahari pagi dan menimbulkan kilauan seindah permata. Tak lama ia berjalan ke arah tempat tidur dimana aku berada, duduk di pinggir di atas coverbed seputih awan. Ia menyentuh pipiku dan ibu jarinya mengelus bibirku.

"Kenapa, Sayang?"

"Ada apa kamu bangun sepagi ini?" tanyaku padanya sembari menikmati sapuan tangannya di pipiku. Setelah apa yang terjadi semalam, seharusnya ia bangun sekitar pukul sepuluh pagi dan bukan bersamaan terbitnya Sang Surya.

"Nggak ada apa-apa, Sayang, kamu tidur lagi gih." Jemarinya berpindah ke atas kepalaku dan mengelus rambutku yang sewarna jelaga. Kuperhatikan wajahnya yang muram, berbeda dari biasanya, tak ada senyuman manis menghiasi wajahnya. Matanya tak bersinar seperti di kala cahaya matahari menyinarinya. Apa yang terjadi? bisikku dalam hati.

Sentuhannya di rambutku membawaku menuju ketidaksadaran. Sebelum mulai bermimpi, ku katakan padanya, "Aku cinta kamu..."

Mataku mulai berkedip, kelopak mataku terasa berat. Ku lihat ia menghilang di balik bulu mataku. Bermuram durja.

***

Ku terbangun dari tidurku, merasakan panasnya suhu di kamar. Aku terduduk di tempat tidur dan menyapu kamar dengan pandanganku. Kemana dia pergi? Turun dari tempat tidur, kuputuskan untuk melangkahkan kakiku ke ruang tengah, mencarinya.

Ruang tengah kami yang berisikan sofa lembut berwarna coklat muda berhadapan dengan televisi dengan flat screen 70inch yang berada di atas meja jati. Kami biasa menonton film bersama di malam hari hingga tertidur di sofa lembut itu. Dia biasa menyimak berita sambil meminum kopi espresso-nya di pagi dan siang hari, di sofa lembut itu. Tapi saat ini dia tak ada di situ. Sofa itu kosong. Ku tengok ke arah dapur kecil kami, tak ku temukan bayangannya. Sudah kucari ke seluruh apartemen kami, tapi aku tak kunjung menemukannya. Kuputuskan untuk mengambil smartphone-ku di kamar dan menelepon nomor telepon genggamnya.

"Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, silahkan..."

Setelah beberapa kali menelepon, aku putus asa, memutuskan untuk mengirim pesan saja dan berharap dia segera membaca dan membalas pesanku.

Baby, where are u?

Ku letakkan smartphone itu di meja rias dan berjalan ke arah dapur. Mengambil gelas dan membuka kulkas, segelas iced tea menjadi pilihanku. Teko kristal berukuran sedang berisikan cairan teh berwarna coklat dan lemon segar beserta beberapa cube es batu di dalamnya ku bawa dan ku tutup pintu kulkas di belakangku. Ku tuangkan iced tea ke dalam gelas bening. Pikiranku menerawang. Dimana dia? 

Sambil membawa segelas iced tea aku berjalan ke arah balkon di kamarku. Di balkon terdapat meja bundar kecil beserta dua kursi. Ku letakkan gelas itu di atas meja. Sebelum duduk ku ambil smartphone-ku dari meja rias dan mengecek pesan masuk. Tak ada pesan balasan darinya.
Ku langkahkan kakiku kembali ke balkon dan duduk di kursi, menikmati semilir angin di bawah kanopi yang melindungiku dari teriknya matahari siang. Ku sesap dingin teh manis perlahan, menikmatinya dan merasakannya menyegarkan tenggorokkanku yang kering. Samilir angin mengingatkan pada pertemuan kami lima tahun lalu. 

Lima tahun itu berawal dari tahun freshman kami di kampus. Kami mengambil jurusan yang berbeda namun bertemu di kelas English Literature. Bermula dari perkenalan itu ku kenal dia luar dalam. Dia berasal dari panti asuhan dan berkat kecerdasannya, ia berhasil memasuki dunia pendidikan dengan beasiswa penuh. Dia banyak membantuku dalam English Literatur. Kami bertukar nomor telepon dan mulai dekat. Kemudian memasuki tahun kedua aku memperkenalkannya pada kedua orangtuaku. Syukurnya, ia diterima dengan baik oleh keluarga besarku. Perjalanan cinta kami mulus setelah pertemuannya dengan orang tuaku. Dia selalu menjadi penjagaku, pelindungku, orang yang aku puja. Dia satu-satunya orang yang setia berada di sisiku. Aku sangatmencintainya.

Setahun lalu kami lulus bersamaan, ia mendapat gelar cum laude dan langsung di rekrut bekerja di perusahaan ayahku. Tak lama kemudian, ia melamarku dan memintaku tinggal bersamanya. Namun karena banyak pertimbangan, kami putuskan untuk dia yang pindah ke apartemen pribadiku. Tak ada halangan berarti bagi kami, meskipun terkadang ada kerikil mengotori jalan kami.

Sekarang dia sudah menjadi tangan kanan Ayah dan kami berdua sedang merencanakan hari pernikahan. Hari yang selalu aku nantikan sejak pertama kali kami bertemu.

Hembusan angin kencang menampar wajahku dan membangunkanku kembali ke kenyataan. Ku lirik inbox-ku dan tak ada pesan baru di dalamnya. Lelah menunggu, kuputuskan untuk beranjak dari dudukku dan melihat pemandangan taman di bawah apartemen kami. Hamparan rumput hijau dan pepohonan rindang yang di rancang khusus oleh pengelola apartemen membuat suasana di bawah begitu menyejukkan mata. Anjing-anjing kecil saling berlarian, beberapa pasangan duduk di kursi panjang di bawah pohon rindang, dua orang tukang kebun sedang memberi minum tanaman hijau yang haus. Hari yang cerah membuat semua hal terkesan lebih hidup. Meskipun terik, angin masih bertiup dan menghapus keringat di tubuhku.

Ku pandangi taman di bawah. Sepasang muda mudi yang tadinya duduk di kursi panjang di bawah pohon, berdiri. Mereka sepertinya sedang asyik dalam perbincangan antar sepasang kekasih. Kemudian mereka berpelukan dan ku lihat sang pria mengecup bibir dan kening sang wanita. Betapa romantisnya, aku iri di dalam hatiku. Kemudian mereka melepaskan pelukan itu dan berpisah. Si wanita terlihat mengenakan blouse putih dan rok panjang berkibar berwarna biru navy. Berjalanan berlawanan arah dengan si pria yang berjalan ke arah pintu akses apartemen, mengenakan kemeja berwarna senada dengan si wanita dan celana jeans biru.

Yah, setiap pertemuan pasti ada perpisahan.

Kemudian kenyataan itu menghantamku keras. Membawaku jatuh ke tepian jurang. Aku membeku tak bisa beranjak dari tempatku berpijak, entah berapa lama aku berdiri mematung. Tak terasa air mata mulai jatuh membasahi pipiku. Angin semilir tak bisa menghapusnya.

"Sayang, sedang apa kamu di sana?" Suara itu terdengar di belakangku. Namun, tubuhku tak bisa berbalik. Masih mematung dengan air mata yang bercucuran. Kurasakan tubuhnya mulai mendekat padaku. Ku rasakan ke dua tangannya mendekapku erat dari belakang.

"Aku cinta kamu..."

"Iya." Bisa kurasakan bibirnya membentuk senyuman.

Aku melepaskan diri dari pelukannya dan beranjak dari tempatku berdiri. Menolak untuk melihat wajahnya. Aku berjalan dengan cepat dan mengambil tas di lemariku dan mengisinya dengan dompetku. Aku harus pergi dari sini.

"Aline," dia menggenggam tangan kananku, menahan langkah kakiku. "Kamu kenapa?"

"Katakan kamu mencintaiku."

"Aline... ada apa se..."

"Katakan!!" Aku membentaknya dan tak bisa menahan lagi leburan air mata yang jatuh semakin deras di pipiku. Aku berbalik dan melihat wajahnya yang cemas.

"Katakan, Adrian, katakan kau mencintaiku..."

Matanya mulai berkaca-kaca. Namun bibirnya masih terbungkam. Aku tahu. Aku selalu tahu. Tetapi aku selalu menyangkalnya. Aku berjalan keluar dari kamar, memakai sepatuku dan segera keluar dari apartemen kami. Pergi menjauh darinya.

***

ADRIAN

Empat tahun lalu...

Aku di bawa ke dalam sebuah ruangan oleh seorang wanita muda berpakaian kerja berwarna biru tua, rambut di ikat rapi dan memakai heels berwarna hitam legam. Di ruangan itu, aku duduk di salah satu sofa berwarna hitam dan di tinggal seorang diri. Kulihat sekeliling ruangan yang begitu tertata rapi. Meja kayu jati berdiri di tengah ruangan dengan jendela di bagian belakangnya, memandang ke arah kemacetan ibu kota. Ruangan itu di dominasi oleh warna hitam dengan latar dinding berwarna biru sangat muda hingga hampir terlihat putih. Di dinding tepat di depanku, terpasang bingkai foto keluarga kecil yang tersenyum bahagia. Seorang ayah, seorang ibu dan putri kecil di antara mereka. Saat memandangi foto itu, tak lama seorang bapak tua masuk. Wajahnya sama persis seperti sosok ayah yang berada di foto itu.

"Adrian..." aku berdiri untuk menjabat tangannya. Kemudian ia mempersilahkan aku duduk kembali. Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan kotak yang berwarna emas. Menyodorkannya padaku, namun ku tolak sesopan mungkin. Ia mengambil satu batang cerutu dan menyalakannya. Menghisapnya sekali dan menghembuskannya.

"Adrian," katanya dengan suara berat. "Aku dengar kamu dekat dengan dia?"

"Iya, Pak." jawabku singkat.

"Kamu mencintainya?" Pertanyaannya langsung menohok jantungku. Aku tak bisa berkata-kata. Aku merunduk terdiam untuk beberapa saat, tak terasa keringat mulai membasahi keningku. Aku mulai membuka kedua bibirku.

"Tak perlu di jawab, aku sudah tau apa sebenarnya keinginan pria seperti dirimu, Adrian."

Jantungku berdetak begitu cepat. Nafasku semakin berat. Tak terasa ketakutanku padanya sebegini besar. Dia bisa saja langsung membunuhku di tempat mengingat kekayaan yang dimilikinya. Semua ini terjadi karena kebodohanku. Aku memang bodoh. Tak seharusnya aku berurusan dengan gadis itu.

"Aku tak akan menghukummu dengan cara yang keji." Aku tersentak dengan mata yang terbuka lebar.

"Mak, maksud anda?"

"Sepertinya putri kecilku begitu mencintaimu. Aku tak bisa melihatnya terluka. Permainan ini sudah kau mulai dan kau tidak bisa berhenti begitu saja. Aku akan memberikanmu posisi penting di perusahaan ini, kekayaan dan kekuasaan seperti yang kau idam-idamkan selama ini. Sebagai gantinya aku ingin kau tetap mencintainya entah dengan cara apapun. Bahagiakan dia. Meskipun kau tidak mencintainya."

Kupandangi wajahnya yang begitu serius, matanya gelap memancarkan ancaman yang serius padaku. Tubuhku lemas seketika. Bibirku membisu, tak bisa berkata-kata. Selamanya aku terjebak, terjebak dalam permainanku sendiri. Kekayaan dan kekuasaan yang selalu menjadi angan-anganku menjadi awal mula aku terjebak di permainan ini. Seharusnya aku tak pernah mendekati gadis kaya itu, seharusnya aku tak pernah berpura-pura mencintai Aline.

END

0 Response to "Sad"

Posting Komentar